Senin, 23 Juli 2018

Lebaran 2018

Sudah menjadi agenda tahunan untuk pulang kampung suami, di Parakan, Temanggung, dan kali ini ada yang berbeda. Kami memnag memilih mudik dengan kendaraan pribadi karena rumah yang memang tidak ada kendaraan umum seperti kereta api maupun bandara, sehingga bila mudik dengan kereta api atau pesawat, kami tetap haru menempuh perjalanan ke desa dengan mobil selama 3-4 jam (bila tidak macet). Yang berbeda kali ini adalah jalan tol ke Jawa Tengah sudah ada, walaupun  memang belum 100% jadi, masih ada jalan tol fungsional, tapi ini jadi semangat baru buat kami mudik, yang biasanya menempuh waktu 12 jam perjalanan, kami ini kami pulang hanya butuh waktu 9 jam, alias hemat 3 jam perjalanan dan ini sangat berarti buat kami.
 


Kami sengaja cuti 1 hari untuk berangkat lebih awal agar tidak macet. Dan adik dari Bandung baru pulang tgl 14 Juni sore, tepat saat malam takbir. Hal ini karena jadwal libur lebaran yang agak membingungkan dan berbeda tahun ini. Dan kami memutuskan menjemput di Jogja tgl 15 Juni 2018,  tepat saat hari lebaran. Kami berangkat jam 6 pagi dan jalanan sungguh sepi, perjalanan ke Jogja yang biasanya perlu waktu 3 jam hanya kami tempuh kurang dari 2 jam. Dari Jogja kami tidak kemana-mana kebali pulang dan hanya makan tahu kupat di daerah Blabak, Magelang.


 
 
Agenda wajib lain saat pulang kampung adalah ke makam mama. Pemakamannya di desa Mandisari, tetapi penduduk setempat menyebutnya Manden, pemakaman umum, ada untuk umat Kristiani, umat muslim-warga sekitar, umat Katolik dan Budha. Lokasinya di perbukitan, menurut kepercayaan kaum etnis Tionghoa, pemakaman sebaiknya di tempat yang tinggi, semakin tinggi semakin baik, dan lebih baik lagi bila di bawah pohon beringin. Dan tiap kali hendak ke makam, ke anak-anak kita bilang kita mau ke gunung, dan memang dari lokasi makam bias melihat pemandangan lereng dan tentu saja hawanya sejuk.



Buat anak-anak ke makam juga bisa menyenangkan, saatnya belajar di alam, memperkenalkan aneka tumbuhan, ada pohon pisang, bamboo, putrid mandi dan ada juga banyak serangga, bahkan ada anak kodok. Maklum 2 anak berasal dari Surabaya dan Bandung yang merupakan kota besar, sehingga mereka tidak sering bermain di alam, kenalnya mall. Walaupun di pemakaman anak-anak juga bias tersenyum ceria, saling main kejar-kejaran, dan foto-foto tentunya.
 


Anak-anak yang sudah mulai besar, yang sudah mau berumur 6 tahun dan sudah terbiasa punya banyak kegiatan, bosan di rumah saja dan sudah rewel. Dan sayangnya tidak ada mall di tempat kami, kami hanya bermain di taman bermain saja.
 
Antri delman Di depan pasar Legi
Kami ke Jogja, senin, 18 Juni 2018 karena adik yang di Bandung tiketnya tanggal tersebut. Sebelum ke airport, kami hanya istirahat di hotel sebentar untuk mandi-mandi, dan kali ini adik yang dari Bandung yang sakit radang. Pergi dengan anak kecil punya seni tersendiri. 
Karena tidak mau rugi dan diinspirasi oleh sahabat lama, teman satu sel KTM yang bosan dengan foto dengan background kamar hotel, akhirnya kami memutuskan ke Taman Pelangi yang lokasinya berdekatan dengan hotel, saat booking hotel tidak terpikir untuk ke taman pelangi. 
Taman Pelangi ini berlokasi di Monjali, Monumen Jogja Kembali, hanya saja Taman Pelangi baru dibuka sore sampai malam hari. Akses masuknya free alias gratis. Dan sesuai namanya, taman pelangi, di tempat ini penuh dengan warna-warni lampu, baik lampu LED yang menghiasi gapura maupun lampu lampion yang dibentuk menjadi berbagai bentuk seperti aneka tokoh kartun, igloo, hewan, bahkan ada lampion yang dimodel para Presiden Indonesia, dll. Bila ke tempat ini dalam kondisi lapar, tidak perlu khawatir ada juga semacam pujasera yang menjual aneka makanan, snack dan minuman dan harganya juga cukup terjangkau. Selain hiasan lampu-lampu, ada juga beberapa tank dan tentunya jadi spot favorit anak cowok. Beberapa mainan yang ada di Taman Pelangi adalah: bom bom car, trampoline, becak mobil (kami main semua), tampaknya ada juga semacam komedi putar, kereta mini, dll tapi kami tidak bermain. 
Keesokan harinya kami pulang kembali ke Surabaya dan libur telah usai 
Berikut informasi mengenai Monjali:Bunyi sirene tanda istirahat dibunyikan dari pos pertahanan Belanda. Di bawah komando Letkol Soeharto, Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III, mulai menggempur pertahanan Belanda setelah mendapat persetujuan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku penggagas serangan. Pasukan Belanda yang satu bulan semenjak Agresi Militer Belanda II bulan Desember 1948 disebar pada pos-pos kecil, terpencar dan melemah. Selama enam jam Tentara Nasional Indonesia (TNI) berhasil menduduki Kota Yogyakarta, setelah memaksa mundur pasukan Belanda. Tepat pukul 12.00 siang, sesuai dengan rencana, semua pasukan TNI menarik diri dari pusat kota ketika bantuan Belanda datang. Sebuah kekalahan telak bagi pihak Belanda.Pertempuran yang dikenal dengan Serangan Umum 1 Maret inilah yang menjadi awal pembuktian pada dunia internasional bahwa TNI masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan serta menyatakan bahwa Republik Indonesia masih ada. Hal ini terpicu setelah Pemerintah Belanda yang telah menangkap dan mengasingkan Bung Karno dan Bung Hatta ke Sumatera, memunculkan propaganda dengan menyatakan Republik Indonesia sudah tidak ada.Berita perlawanan selama enam jam ini kemudian dikabarkan ke Wonosari, diteruskan ke Bukit Tinggi, lalu Birma, New Delhi (India), dan berakhir di kantor pusat PBB New York. Dari kabar ini, PBB yang menganggap Indonesia telah merdeka memaksa mengadakan Komisi Tiga Negara (KTN). Dalam pertemuan yang berlangsung di Hotel Des Indes Jakarta pada tanggal 14 April 1949 ini, wakil Indonesia yang dipimpin Moh. Roem dan wakil Belanda yang dipimpin Van Royen, menghasilkan sebuah perjanjian yang ditanda tangani pada tanggal 7 Mei 1949. perjanjian ini kemudian disebut dengan perjanjian Roem Royen (Roem Royen Statement). Dalam perjanjian ini Belanda dipaksa untuk menarik pasukannya dari Indonesia, serta memulangkan Presiden dan Wakil Presiden, Soekarno-Hatta ke Jogja. Hingga akhirnya pada tanggal 27 Desember 1949 secara resmi Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia.Makna Yang Tersirat dan Tersurat Dalam Tetengger SejarahUntuk mengenang peristiwa sejarah perjuangan bangsa, pada tanggal 29 Juni 1985 dibangun Monumen Yogya Kembali (Monjali). Peletakkan batu pertama monumen setinggi 31,8 meter dilakukan oleh HB IX setelah melakukan upacara tradisional penanaman kepala kerbau. Empat tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 6 Juli 1989, bangunan ini selesai dibangun. Pembukaannya diresmikan oleh Presiden Suharto dengan penandatanganan Prasasti.Monumen yang terletak di Dusun Jongkang, Kelurahan Sariharjo, Kecamatan Ngaglik, Kapubaten Sleman ini berbentuk gunung, yang menjadi perlambang kesuburan juga mempunyai makna melestarikan budaya nenek moyang pra sejarah. Peletakan bangunanpun mengikuti budaya Jogja, terletak pada sumbu imajiner yang menghubungkan Merapi, Tugu, Kraton, Panggung Krapyak dan Parang Tritis. " Poros Makro Kosmos atau Sumbu Besar Kehidupan" begitu menurut Pak Gunadi pada YogYES. Titik imajiner pada bangunan yang berdiri di atas tanah seluas 5,6 hektar ini bisa dilihat pada lantai tiga, tepatnya pada tempat berdirinya tiang bendera.Nama Monumen Yogya Kembali merupakan perlambang berfungsinya kembali Pemerintahan Republik Indonesia dan sebagai tetengger sejarah ditarik mundurnya tentara Belanda dari Ibukota Yogyakarta pada tanggal 29 Juni 1949 dan kembalinya Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan petinggi lainnya pada tanggal 6 Juli 1949 di Yogyakarta.Replika Pesawat Hingga Ruang HeningMemasuki area monumen yang terletak sekitar tiga kilometer dari pusat kota Jogja ini, pengunjung akan disambut dengan replika Pesawat Cureng di dekat pintu timur serta replika Pesawat Guntai di dekat pintu barat. Menaiki podium di barat dan timur pengunjung bisa melihat dua senjata mesin beroda lengkap dengan tempat duduknya, sebelum turun menuju pelataran depan kaki gunung Monumen. Di ujung selatan pelataran berdiri tegak sebuah dinding yang memuat 420 nama pejuang yang gugur antara 19 Desember 1948 hingga 29 Juni 1949 serta puisi Karawang Bekasi-nya Chairil Anwar untuk pahlawan yang tidak diketahui namanya.Monumen dikelilingi oleh kolam (jagang) yang dibagi oleh empat jalan menuju bangunan utama. Jalan barat dan timur menghubungkan dengan pintu masuk lantai satu yang terdiri dari empat ruang museum yang menyajikan sedikitnya 1.000 koleksi tentang Satu Maret, perjuangan sebelum kemerdekaan hingga Kota Yogyakarta menjadi ibukota RI. Seragam Tentara Pelajar dan kursi tandu Panglima Besar Jenderal Sudirman yang masih tersimpan rapi di sana. Di samping itu, ada juga ruang Sidang Utama, yang letaknya di sebelah ruang museum I. Ruangan berbentuk lingkaran dengan diameter sekitar 25 meter ini berfungsi sebagai ruang serbaguna, karena biasa disewakan untuk keperluan seminar atau pesta pernikahan.Sementara itu jalan utara dan selatan terhubung dengan tangga menuju lantai dua pada dinding luar yang melingkari bangunan terukir 40 relief yang menggambarkan peristiwa perjuangan bangsa mulai dari 17 Agustus 1945 hingga 28 Desember 1949. sejumlah peristiwa sejarah seperti perjuangan fisik dan diplomasi sejak masa Proklamasi Kemerdekaan, kembalinya Presiden dan Wakil Persiden ke Yogyakarta hingga pembentukan Tentara Keamanan Rakyat tergambar di relief tersebut. Sedangkan di dalam bangunan, berisi 10 diorama melingkari bangunan yang menggambarkaan rekaan situasi saat Belanda menyerang Maguwo pada tanggal 19 Desember 1948, SU Satu Maret, Perjanjian Roem Royen, hingga peringatan Proklamasi 17 Agustus 1949 di Gedung Agung Yogyakarta.Lantai teratas merupakan tempat hening berbentuk lingkaran, dilengkapi dengan tiang bendera yang dipasangi bendera merah putih di tengah ruangan, relief gambar tangan yang menggambarkan perjuangan fisik pada dinding barat dan perjuangan diplomasi pada dinding timur. Ruangan bernama Garbha Graha itu berfungsi sebagai tempat mendoakan para pahlawan dan merenungi perjuangan mereka.Source : https://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-object/pilgrimage-sites/monjali/